Oleh: Devid Saputra, Dosen UIN Raden Intan Lampung
Indonesia, dengan statusnya sebagai negara kepulauan terbesar dan garis pantai terpanjang kedua di dunia, memiliki kepentingan strategis yang luar biasa dalam melindungi kedaulatan maritimnya. Laut Natuna, yang berbatasan dengan Laut China Selatan, tidak hanya penting secara geografis tetapi juga kaya akan sumber daya alam. Dalam konteks ini, menjaga dan mengamankan Laut Natuna menjadi semakin mendesak bagi Indonesia mengingat potensi ancaman eksternal yang semakin meningkat.
Sejak era Reformasi 1998, Indonesia mengalami transformasi besar-besaran dalam sistem politik domestik yang memberikan ruang bagi peran yang lebih kuat dalam kawasan maritim. Reformasi ini membuka jalan bagi penerapan kebijakan maritim yang lebih kompeten dan responsif terhadap tantangan internasional serta memperkuat peran Indonesia di pentas diplomasi maritim, terutama di kawasan Asia Tenggara.
Namun, tantangan besar tetap ada. Di Laut Natuna, Indonesia menghadapi berbagai ancaman terhadap kedaulatannya, seperti aktivitas illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing, serta potensi konflik perbatasan dengan negara-negara tetangga. Dalam menghadapi ancaman ini, pemerintah Indonesia perlu memperkuat kapabilitas angkatan laut dan merumuskan kebijakan luar negeri yang efektif. Ini mencakup kerjasama internasional yang meningkatkan keamanan maritim dan memastikan perlindungan sumber daya alam.
Hubungan Indonesia dengan Laut Natuna juga dipengaruhi oleh dinamika geopolitik di Laut China Selatan, di mana terdapat konflik kepentingan antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Indonesia berupaya memainkan peran sebagai mediator melalui berbagai forum multilateral seperti ASEAN dan pertemuan internasional lainnya. Diplomasi yang halus dan cerdas menjadi kunci dalam menyeimbangkan hubungan dengan Tiongkok sambil mempertahankan kedaulatan nasional.
Visi Presiden Joko Widodo dengan konsep Poros Maritim Dunia bertujuan menjadikan Indonesia sebagai pusat kegiatan maritim dengan kedaulatan penuh, perlindungan perbatasan yang kuat, serta peran aktif dalam perdagangan dan keamanan maritim global. Untuk mewujudkan visi ini, berbagai langkah telah diambil, seperti peningkatan infrastruktur maritim, pengembangan ekonomi kelautan yang berkelanjutan, serta penanganan terhadap tantangan keamanan. Integrasi kebijakan domestik dan internasional menjadi sangat penting untuk mengoptimalkan potensi laut bagi kemakmuran nasional dan stabilitas regional.
Pendekatan setiap presiden Indonesia dalam mengamankan kepentingan di Laut China Selatan mencerminkan gaya kepemimpinan dan prioritas masing-masing. Dari B.J. Habibie hingga Joko Widodo, kebijakan yang diterapkan menunjukkan adanya adaptabilitas dan komitmen untuk menjaga kepentingan nasional di tengah dinamika regional. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendorong transformasi demokrasi dan reformasi internal, Megawati Soekarnoputri menyeimbangkan stabilitas domestik dengan diplomasi yang bijak, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan pendekatan multilateral berbasis data, dan Jokowi mengutamakan tindakan cepat dan efektif untuk mempertahankan kedaulatan.
Dengan adanya presiden baru yang akan segera memimpin, strategi masa depan dalam menghadapi isu Laut China Selatan perlu mengambil inspirasi dari gaya dan pendekatan yang dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya. Model Diplomasi Multilateral Aktif ala SBY, Teknokratis dan Berbasis Ilmiah dari era Habibie, serta penekanan pada Kekuatan Maritim dan Infrastruktur oleh Jokowi harus diadaptasi ke dalam kebijakan yang lebih komprehensif dan strategis. Pendekatan Inklusivitas dan Dialog ala Gus Dur serta moderasi dan pragmatisme Megawati juga penting untuk diterapkan dalam diplomasi maritim Indonesia. Mengintegrasikan elemen-elemen ini akan membantu Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya sambil membangun hubungan yang konstruktif dengan negara-negara tetangga dan komunitas internasional. Strategi yang komprehensif ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam geopolitik Laut China Selatan dan turut berkontribusi pada stabilitas serta perdamaian regional.
Kesinambungan kepemimpinan maritim Indonesia perlu diwujudkan melalui kebijakan luar negeri yang koheren, diplomasi multilateral yang kuat, dan investasi dalam pertahanan maritim yang signifikan. Peningkatan infrastruktur pelabuhan dan fasilitas pengawasan, penelitian strategis di bidang kelautan, serta kerja sama internasional juga sangat penting untuk memastikan keamanan dan keberlanjutan aktivitas maritim. Selain itu, edukasi dan kampanye publik tentang pentingnya kedaulatan maritim, koordinasi antar-lembaga pemerintahan, serta evaluasi kebijakan secara berkala adalah kunci untuk implementasi kebijakan yang efektif dan adaptif.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia diharapkan dapat menghadapi dinamika di Laut China Selatan dan menjaga stabilitas regional dengan lebih baik. Sebagai negara yang berada di pusat jalur maritim global, Indonesia memiliki potensi besar untuk mempengaruhi perkembangan regional dan global melalui kebijakan maritim yang proaktif dan strategis. Dalam era kepemimpinan baru, tantangan dan peluang di Laut China Selatan akan terus berkembang, mengharuskan Indonesia untuk tetap waspada, inovatif, dan kooperatif dalam mempertahankan kedaulatan maritim dan mempromosikan perdamaian serta keamanan regional.
Artikel ini juga telah diterbitkan di Times Indonesia dengan judul ‘Kedaulatan Laut Cina Selatan: Tantangan Bagi Pemimpin Terpilih Indonesia’, yang memberikan sudut pandang tambahan serta diskusi yang mendalam terkait isu penting ini.