Menyoal Kebebasan Beragama dalam Upacara Kenegaraan

oleh -118 Dilihat
oleh
Menyoal Kebebasan Beragama dalam Upacara Kenegaraan

Pendiri negara Republik Indonesia Ketika itu sangat menyadari bahwa negara yang akan didirikan akan sarat perbedaan. Baik dari budaya, Bahasa, suku bangsa, dan agama. Oleh karena itu, UUD 1945 sebagai dasar untuk berbangsa dan bernegara, telah mengatur dan menata perbedaan tersebut agar tidak terjadi konflik.

Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus selalu menjadi momen penuh makna bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengibaran bendera merah putih oleh Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) adalah suatu symbol yang  mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

Jasa Penerbitan Buku ISBN

Sangatlah disayangkan, perayaan kemerdekaan tahun ini diwarnai adanya kontroversi yang menarik keprihatinan publik, yaitu pelarangan berjilbab bagi perempuan yang bertugas sebagai pengibar bendera negara Indonesia merah putih.

Alasan apa yang digunakan oleh pengambil kebijakan sehingga petugas Perempuan pengibar bendera dilarang berjilbab. Hanya karena demi keseragaman . Tanpa disadari alasan tersebut telah melukai hak asasi manusia, dan juga kebebasan beragama yang dijamin oleh dasar negara Pancasila dan konstitusi Indonesia UUD 1945.

 Sila-sila Pancasila yang direalisasikan ke dalam UUD 1945 (Pasal 29 ayat (2) UUD 1945) telah menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya.

Pelarangan berjilbab bagi perempuan yang bertugas sebagai pengibar bendera jelas bertentangan dengan prinsip ini. Jilbab, sebagai bagian dari keyakinan dan identitas seorang Muslimah, tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskriminasi atau menghalangi partisipasi mereka dalam kegiatan kenegaraan. Keputusan semacam ini tidak hanya mencederai semangat kebhinekaan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana komitmen negara dalam melindungi hak-hak konstitusional warganya.

Dari perspektif hukum, pelarangan berjilbab bisa dianggap sebagai bentuk diskriminasi yang melanggar berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 3; menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.

Salah satu konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah yaitu seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) yang berisikan menentang atas segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan.  Hal ini termasuk dalam hal pelarangan berjilbab bagi Perempuan yang bertugas sebagai pengibar bendera pada peringatan hari kemerdekaan RI 17 Agustus tahun ini.

Pemerintah, sebagai pemangku kepentingan utama dalam pelaksanaan kebijakan publik, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa semua kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia. Keputusan terkait pelarangan berjilbab harus ditinjau ulang dan, jika perlu, dibatalkan untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak konstitusional.

Joki Tugas

Bagi kaum perempuan yang berjilbab, kebijakan ini bisa dirasakan sebagai bentuk penolakan atas identitas dan keyakinan mereka. Berdampak menjadikan kaum Perempuan berjilbab diperlakukan ketidakadilan dan mungkin akan menurunkan semangat nasionalisme di kalangan mereka.

Masyarakat akan terpecah belah atas kebijakan tersebut, muncul stigma negatif terhadap kelompok tertentu. Bahkan akan melukai rasa persatuan dan kesatuan yang berdiri di atas perbedaan, yang selama ini menjadi fondasi dari keberagaman Indonesia. Kebijakan yang kurang bijaksana, bersifat diskriminatif dapat merusak tatanan sosial yang harmonis dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

Para pengambil kebijakan dan tak lepas seluruh Masyarakat Indonesia hendaknya, kembali menegaskan komitmen terhadap kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Negara harus mampu menjadi pelindung bagi seluruh warganya, tanpa memandang perbedaan agama, suku, ras, atau keyakinan.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan yang diskriminatif dan segera mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan. Hal ini bisa dimulai dengan memastikan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan telah melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan telah diuji dari sisi kesesuaian dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia.

Penghujung dari keresahan ini, marilah dalam peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus dijadikan sebagai perayaan kemerdekaan yang berselimut persatuan dan keragaman. Sebagaimana makna dari Bhineka Tunggal Ika yang bermakna untuk saling menghormati dan melindungi hak setiap warga negara, demi Indonesia yang lebih inklusif dan adil.

Penulis : Megawati (Universitas Ahmad Dahlan)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.