Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), mahasiswa dari berbagai organisasi kemahasiswaan secara serentak menyatakan penolakan terhadap RUU Kejaksaan dan KUHAP. Menurut mereka, rancangan undang-undang tersebut merupakan upaya kejaksaan untuk mendirikan “kerajaan hukum” di Indonesia.
RUU Kejaksaan dan KUHAP dipandang mengancam tatanan demokrasi, terutama karena salah satu pasal dalam RUU Kejaksaan mewajibkan adanya izin dari Kejaksaan Agung sebelum seorang Jaksa yang diduga terlibat kasus tindak pidana dapat diperiksa. Kebijakan ini dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan intervensi antar lembaga negara dalam proses penegakan hukum.
Perluasan kewenangan bagi Kejaksaan dikhawatirkan akan menjadikan lembaga tersebut kebal hukum. Selain itu, rancangan RUU ini dianggap sebagai langkah untuk memberikan spesialisasi atau kekhususan kepada lembaga tertentu, yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan di negara demokrasi. Setiap warga negara dan lembaga seharusnya diperlakukan setara, sehingga jika terjadi tindak pidana, proses hukum harus segera dijalankan—sama seperti ketika anggota kepolisian yang diduga melakukan korupsi langsung ditangkap dan diproses.
Jika seorang Jaksa diduga terlibat tindak pidana, ia tidak seharusnya harus mendapatkan izin dari Kejaksaan Agung untuk diperiksa, melainkan langsung diproses sesuai hukum. Oleh karena itu, ide penambahan kewenangan Kejaksaan dalam RUU Kejaksaan dan KUHAP perlu dipertimbangkan kembali dengan lebih matang, termasuk evaluasi mendalam terhadap kasus-kasus yang telah mengguncang masyarakat.
Pada intinya, perumusan undang-undang seharusnya menjamin kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat. Namun, menurut pandangan peserta FGD, RUU Kejaksaan justru berpotensi menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan antar lembaga negara, suatu kondisi yang seharusnya dihindari dalam sistem demokrasi.