Oleh: Siti Shofiyaturrohmah (Mahasiswa Program Studi Perbankan Syariah, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
Pada zaman sekarang ini sistem kredit memudahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena banyak masyarakat yang ingin membeli sebuah barang tetapi belum mampu membayar secara tunai. Namun dengan kredit, ia bisa memperoleh barang yang dibutuhkan. Tetapi apakah penggunaan kredit dibolehkan dalam Islam?
Jual beli merupakan suatu perbuatan yang dihalalkan oleh Allah SWT karena memperoleh banyak keuntungan. Tetapi ada juga suatu jual beli yang diharamkan karena mendatangkan kerugian dan kerusakan, contohnya seperti riba. Nabi Muhammad SAW menyebutkan jual beli harus bersifat mabrur. Jual beli dapat dikatakan mabrur dengan tanpa adanya syuhbat, dusta, khianat, dan transaksi yang digunakan harus terhindar dari riba.
Lalu apakah transaksi kredit sama dengan riba?
Pengertian riba secara bahasa yaitu ziyadah yang berarti tambahan. Sedangkan menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Sedangkan pengertian jual beli menurut syariat adalah pertukaran harta dengan disertai akad ijab dan qabul yang sesuai dengan syarat-syarat, hukum dan rukun dalam syariat Islam. Salah satu syarat dalam jual beli yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli. Begitupun dengan jual beli kredit, penjual dan pembeli harus memiliki kesepakatan dengan harga kredit dan jangka waktu pembayarannya.
Mengutip dalam buku Ushul Fiqh Ekonomi & Keuangan Kontemporer karya Mohammad Mufid, jual beli kredit disebut dengan Bai’ Taqsith. Pengertian Bai’ Taqsith yaitu jual beli dengan cara angsuran dalam jangka waktu tertentu, dengan harga yang di angsurnya lebih tinggi dibanding harga tunai. Sistem kredit menjadi dibutuhkan oleh masyarakat karena menguntungkan baik bagi si penjual maupun pembeli. Konsumen dapat memperoleh barang yang dibutuhkannya, meskipun ia belum memiliki cukup uang untuk membelinya secara kontan. Jika ada perbedaan pada harga kredit dengan harga cash, itu bukan termasuk riba. Melainkan keuntungan dalam jual beli barang sebagai kompensasi tertahannya hak si penjual dalam jangka waktu tertentu.
Oleh karena itu, jika seseorang menjual sebuah barang dengan harga yang dibayar secara kredit tetapi harganya lebih tinggi dari harga tunai, maka jual beli itu tetap dibolehkan. Maka dari itu, jual beli kredit adalah halal menurut hukum syariah. Dan juga agama Islam mementingkan kepentingan maslahah bersamanya. Pada transaksi kredit ini konsumen dan produsen menyetujui kesepakatan bersama, harus saling diuntungkan dan tidak boleh ada pihak yang dirugikan.
Dan ada juga pendapat yang menyamakan jual beli kredit dengan riba karena memandang tiap-tiap dari keduanya mendatangkan riba (tambahan). Pendapat yang mengharamkan jual beli kredit itu dikarenakan bahwa membedakan harga atau menambahkan harga dengan pembayaran secara kredit dengan pembayaran secara tunai itu mendekati dengan riba nasi’ah yaitu harga tambahan, maka dari itu ada yang mengharamkan transaksi ini jika terjadinya perbedaan harga. Padahal, jual beli adalah keuntungan suatu barang atau disebut iwadh, sedangkan riba adalah tambahan tanpa adanya ‘iwadh.
Menurut pendapat Buya Yahya dalam sistem jual beli kredit ini, jika seorang pembeli mengambil barangnya terlebih dahulu lalu membayarnya dengan mencicilnya tetapi penjual menaikkan harga cicilan diatas harga aslinya dikarenakan si pembeli memilih sistem pembayaran cicilan lalu dibedakan dari harga awalnya, maka ini termasuk riba. Syarat agar sistem kredit ini menjadi halal yaitu dengan cara langsung memberikan satu harga kepada pembeli.
“Jika seorang penjual mengadakan sistem kredit, maka langsung saja menaikkan harganya dari awal, jadi mengambil keuntungan dari jual belinya itu dianggap sah sistem jual belinya. Bukan karena memilih sistem cicilan daripada tunai, lalu penjual menambahkan bunga sehingga menaikan harga tersebut dari harga tunai itu dinamakan riba.” ujar beliau.
Sebagian ulama dari madzhab Syafi’i, Hambali, dan mayoritas ulama lain berpendapat bahwa hukumnya tetap diperbolehkan dan sah selama ada kejelasan dan syarat serta rukun jual belinya telah dipenuhi. Sedangkan menurut ulama madzhab Hanafi, hukum transaksi kredit ini adalah fasid. Sebab, jual beli tersebut mencakup dua akad sekaligus dalam satu jual beli.
Contoh bentuk praktik jual beli kredit yaitu seperti seseorang menjual barang dengan harga 100.000 secara tunai, dan harga 125.000 secara kredit sampai jangka waktu yang telah ditentukan. Ulama Hambali menjelaskan bahwa jika seorang penjual menawarkan barang dengan harga tersebut, sampai waktu yang telah ditentukan dan tidak menambah harga lagi jika membayarnya lewat dari batas waktu yang sudah ditentukan itu dan kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli tersebut telah sepakat, maka jual beli itu tidak mengapa. Sebagaimana firman Allah SWT “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang sampai waktu tertentu, maka tulislah.”
Namun, apabila kreditur harus menaikkan harga jika ia tidak dapat membayar sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan, maka hal ini tidak diperbolehkan dalam Islam, karena ini dinamakan riba jahiliyah. Dan dalil yang membolehkan jual beli secara kredit ini pada QS. Al-Baqarah [2]:275 “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Dalam ayat ini Allah menekankan keabsahan jual beli secara umum halal, dan ini mencakup segala jenis jual beli termasuk jual beli secara kredit. Begitu pula dengan penolakan dan pelarangan terhadap konsep ribawi, apa pun jenisnya.
Selain itu, diperbolehkannya transaksi kredit ini dikarenakan adanya unsur tolong-menolong ketika pembeli ingin memperoleh barang yang dibutuhkan tetapi belum mampu membayarnya secara tunai. Prinsip tolong-menolong ini sejalan dengan apa yang dianjurkan oleh Al-Qur’an pada QS. Al-Maidah [5]:2 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Hukum syariat Islam diciptakan untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban yang ada. Selain itu, syariat Islam juga tidak akan melarang jual beli kecuali mengandung unsur kezaliman di dalam kegiatan jual beli itu seperti penipuan, zalim, riba, penimbunan, dan sebagainya. Menurut penulis, jika kita ingin menjual sebuah barang dengan memberikan sistem cicilan atau kredit, lebih baik kita tentukan harga barangnya tersebut dari awal sebagai bentuk keuntungan yang diperoleh penjual dari pada membedakan harga pada pembayaran tunai dengan pembayaran kredit untuk menghindari kemudharatan. Ataupun saat kita ingin membeli barang dengan transaksi kredit, kita pastikan terlebih dahulu harus dengan harga yang jelas dan membayar sesuai dengan waktu pembayaran yang telah ditentukan kesepakatannya oleh kedua pihak baik penjual maupun pembeli serta barangnya pun harus jelas.
Meskipun transaksi kredit diperbolehkan oleh beberapa kalangan, pembayaran secara tunai lebih baik dan lebih dianjurkan dari pada pembayaran secara kredit. Maka dari itu, jika kita hendak membeli sesuatu yang diinginkan dengan harga yang belum bisa dijangkau, lebih baik kita menyisihkan uang untuk menabung ketimbang membayarnya secara kredit. Dengan pengetahuan ini, semoga kita dijauhi dari perbuatan riba dan segala perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.